Mei 01, 2014

Sistim pengumuman nilai dan tekanan psikis

Doc. Google.com

Sebenarnya sudah lama catatan ini saya buat, namun harus saya revisi berulangkali untuk mendapatkan bahasa yang bagus dan sesuai agar enak dibaca dan memberi pengertian yang komprehensif. Ini setelah saya sampaikan kepada teman-teman se-kontrakan dalam bentuk aspirasi. Begini ceritanya, seharusnya hasil nilai-nilai ujian kita selama 1 semester itu tidak perlu dipajang di papan mading atau di umumkan kepada khalayak, cukup pribadi masing-masing yang tahu. Yakni saat KRS-an, atau dengan sistem online, log-in nilai, atau dalam bentuk amplop, mengingat banyak hasil yang kurang memuaskan atau bahkan anjlok. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi tekanan psikis mahasiswa yang nilainya anjlok.

Saat jajak pendapat seperti ini, antisipasi bahwa pasti ada pihak yang kurang setuju itu akan ada. Dan akhirnya memang ada. Mereka yang kurang setuju menganggap, hal tersebut akan mengurangi semangat belajar. Semangat belajar mereka akan berkurang karena tidak ada komparasi atau pembanding, tidak terpacu untuk bangkit, semangat belajar jadi menurun. Intinya, semuanya jadi menurun karena tidak adanya daya saing. Begitulah kenyataannya, sistem pendidikan modern mengajarkan kita untuk selalu bersaing dalam hal prestasi akademik. Pendidikan selalu menjadi ajang kempetisi, bukan sekedar wawasan.

Adalah wajar jika mereka tidak setuju, mereka menganggap; itu sih tergantung orangnya mau bangkit atau tidak. Alasan lain selain tergantung orangnya juga tergantung siapa pembimbing akademiknya (PA), lingkungan belajarnya, dan masih banyak lagi tanpa harus menghilangkan sistem pengumuman nilai yang memang sudah ada sejak dulu. Mari kita tampung pendapat itu, dan boleh jadi memang ada benarnya. Namun kita juga tidak boleh melupakan pendapat yang berseberangan walau mungkin nilai positifnya hanya satu, hanya mengurangi tekanan psikis, tapi cukup memberi pengaruh besar untuk masa depan banyak mahasiswa.

Secara psikis, mungkin bagi yang nilainya sudah tinggi itu tidak menjadi masalah. Bahkan hal tersebut semakin menguatkan kepercayaan diri untuk meraih nilai yang lebih tinggi lagi. Tapi bagi mereka yang nilainya berada di papan bawah, akan membuatnya sulit untuk bangkit, sulit untuk keluar dari lubang hitam. Memang tidak semuanya seperti itu, ada juga beberapa yang bisa bangkit lagi justru setelah melihat pengumuman tersebut. Namun kalau kita persentase-kan lagi, berdasarkan kenyataan yang ada, jelas lebih banyak lagi yang susah untuk bangkit. Apakah kita akan menyalahkan mereka karena tergantung orangnya lagi? Karena malas? Jelas boleh, bahkan sangat boleh (walau belum tentu semuanya demikian). Tapi hal tersebut bukanlah sebuah solusi, karena hanya sekedar motivasi. Mereka tetap tidak terhindar dari tekanan psikis bahwa mereka dalam hal akademi kampus termasuk kalangan bawah. Dan ini, jika dibiarkan terus-menerus, akan semakin berdampak pada kemampuan akademis mereka selanjutnya.

Sebagai contoh di lapangan, cobalah lihat teman-teman kita yang nilainya jelek, lantas dia mencoba bangkit dan memperbaiki diri. Namun karena image IP-nya yang sudah terlanjur rendah, atau ditambah lagi bocahnya juga memang sedikit bandel, akhirnya dia hanya akan jadi bahan ledekan alias di-bully oleh teman-teman sekelas. Cobalah perhatikan ketika dia bertanya di kelas kepada dosen saat kuliah, tidak sedikit teman-teman sekelas akan menertawakannya, atau dengan senyum seperti ini; “Weee..”. Saya juga ikut tertawa, bahkan saat kembali ke rumah dan mengingat kembali yang sudah terjadi, kadang membuat saya tertawa sendiri. Begitulah kehidupan sosial di lingkungan kelas pada umumnya (walau tidak seluruhnya), dan kita tidak bisa menghindari hal tersebut. Akhirnya, kuliah selalu tidak efektif karena mahasiswa banyak yang kurang paham, namun malu untuk bertanya alias tidak pe-de. Walaupun tidak semuanya seperti itu, namun seperti itulah pada umumnya. Padahal, kalau saja boleh jujur, saya yakin ada banyak sekali pertanyaan dalam benak setiap mahasiswa.

Sekali lagi, kita boleh saja berpendapat lain, tapi pendapat itu kadang justru hanya berlaku untuk diri kita sendiri, tanpa peduli dengan kenyataan sosial bahwa pendapat tersebut tidak terealisasi secara mayoritas. Lantas apakah kita akan menyatakan pernyataan yang sama lagi? Tergantung orangnya. Saya rasa kita tidak akan pernah benar-benar memberi solusi kecuali hanya terus menyalahkan dengan kesalahan yang sama.
Jadi, kembali lagi ke pembahasan awal tadi, alangkah baiknya jika nilai itu dijadikan saja dalam bentuk privasi. Bukan karena saya pernah punya nilai rendah. Bahkan nilai tinggi-pun tidak akan merubah prinsip saya seperti ini. Ini karena kenyataan bahwa di luar sana ada banyak sekali mahasiswa yang mungkin sejak SD sudah mendapat banyak sekali tekanan oleh karena banyaknya ujian yang harus mereka hadapi dengan standar bakunya berdasar nilai-nilai akademis yang sungguh membuat banyak anak keteteran. Kita perlu menyerukan bersama kenapa bisa demikian, dan itu, tidak cukup hanya dengan satu orang. Dulu, di kampus sempat ada audiensi bersama dekanat, salahsatunya membahas masalah kurikulum pendidikan. Sebenarnya ingin sekali menyampaikan pendapat ini, tapi ada yang menurut saya kurang pas jika saya yang menyampaikan. Mungkin hal ini akan lebih mantap jika disampaikan oleh teman-teman yang secara akademik masuk dalam kategori mahasiswa cum-laude. Kenapa? Ini untuk mengantisipasi feed back  seperti ini; Nilaimu kan anjlok, jadi wajar kalau kamu salahsatunya yang pengen sistem pengumuman seperti itu. :)

Hahaha, bukan. Bukan karena itu. Prestasi yang sudah saya dapatkan sejak di bangku dasar sampai menengah tidak mengajarkan saya seperti itu. Bukankah, kita belajar bukan hanya untuk nilai, tapi untuk kehidupan? Dan yang terakhir, saya hanya akan berdoa, semoga dengan diberlakukan sistem seperti ini, justru akan semakin membangkitkan motivasi mahasiswa di kampus mana-pun mereka berada untuk justru semakin terpacu menjadi lebih baik dalam hal belajar (baik itu adalah baik dalam akademik, maupun dalam attitude)Sehingga, tidak ada lagi kita dapatkan hal ironis; mahasiswa yang justru membenci jurusannya, yang pada akhirnya kelak, membuatnya benci dengan pekerjaannya.
Salam menuntut ilmu demi kehidupan.


Surakarta, 12 Februari 2013

1 komentar:

  1. Opini lama yang terpendam dari sang penulis ya, terimakasih sudah memberikan opininya melalui Maestro. Kami tunggu artikel selanjutnya.
    Salam menuntut ilmu demi kehidupan

    BalasHapus