Mahasiswa dari pulau seberang.
Oleh ; Iwan Mariono (mahasiswa angkatan 2012)
Perkenalkan namaku
Mariono, orang biasa memanggilku Iwan. Nama lengkapku Iwan Mariono. Saat ini
aku sedang mendengarkan alunan seruling indah instrumen Bali karya Gus Teja
berjudul hero, instrumen Bali pertama
yang aku kenal langsung memikat hati karena alunannya yang syahdu menenangkan
hati. Tahukah kalian setiap mendengarnya semakin mengingatkanku kepada kampung
halaman.
Bukan. Aku bukan orang
Bali. Bahkan ke Bali saja belum pernah. Hanya saja, setiap mendengarnya
imajinasiku melayang jauh terbang; berbaring di gubuk kecil depan rumah dengan
hamparan sawah yang luas sepanjang mata memandang. Hijau. Hanya hijau dan biru
yang nampak sampai di ujung garis langit. Hanya sawah dan rumput alang-alang
yang nampak sepanjang mata memandang. Semakin menenangkan dengan paduan suara
gemricik air yang mengalir dari saluran kecil irigasi yang mengelilingi
sekitarnya.
“Kau tidak kuliah hari
ini?”
Suara khas itu bertanya,
menepuk bahuku, memutus lamunanku pagi ini tentang indahnya alam pedesaan kami.
Adalah Andi, teman sejawatku dalam perantauan ini. Kami yang sama-sama dari
Morowali, sebuah daerah di ujung tenggara Sulawesi Tengah.
“Tidak, hari ini aku mau
bolos dulu,” jawabku dengan tegas seraya menawarkan Andi jalan-jalan kemana
tempat yang bagus untuk dikunjungi hari ini.
“Ke Simpang Lima, ke
Lawang Sewu, kayaknya bagus.” jawabnya dengan mantap.
Senyum mengembang di
bibirku. Ide yang bagus. Akhirnya, dengan berbekal motor Beat putih kesayanganku itu, pagi ini kami berangkat ke Semarang.
Sepanjang perjalanan,
kami melewati indahnya Magelang, kota terbersih yang berhasil meraih adipura
se-Jawa Tengah. Berangkat dari arah Jogja otomatis tidak lewat alun-alun,
karena ada jalan perboden. Sering aku
ditahan Polisi karena ketahuan melanggar jalan satu arah. Kadang jadi geli
tertawa jika mengingat kenakalan ketika SMA di Palu dulu, bagaimana aku dan
Andi sering mencoba kabur lewat jalan
tikus alias lorong-lorong saat ketahuan melanggar. Dasar bocah nakal. Hanya
bisa tertawa mengingatnya. Kami berteman sejak masih SMA di Palu.
Ini adalah bolos
pertamaku sejak diterima jadi Mahasiswa Kedokteran, Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS). Aku lebih suka menyebutnya Sukoharjo. Karena memang, lokasi
tempat kuliah itu berdomisili di Kabupaten Sukoharjo. Sering aku dan
teman-teman memelesetkannya dalam bahasa Jawa; UMS, Universitas Meh Solo, yang berarti universitas dekat Solo, karena
letaknya di Sukoharjo yang sudah bukan daerah Solo, nama populer Surakarta.
Andi sendiri kuliah di Jogja, jurusan Teknik Industri, Akprind. itulah sebabnya
perjalanan ke Semarang pagi ini kami melewati Magelang, karena jum’at malam
sebelumnya aku jalan-jalan ke Jogja, menginap di kontrakan Andi yang tidak jauh
dari kampusnya. Hingga pagi ini, rencana jalan-jalan itu muncul dengan
sendirinya.
Walau kami tidak satu
jurusan, itu tidak membuat persahabatan kami regang, justru menjadi kiat erat.
Selain karena kami satu kampung halaman, teman sejak kecil, hal yang membuat
persahabatanku erat, kami juga sama-sama kolektor buku sejak datang di Jawa.
Hal yang tidak pernah kami lakukan ketika masih di Sulawesi, selain karena
harga buku-buku yang mahal juga karena memang tidak ada toko buku seperti
Gramedia, Togamas, SAB, disana.
Ada hal menarik yang kami
temui ketika berkunjung ke Semarang. Mungkin inilah transformasi budaya melalui
institusi pendidikan antara Jawa dan Sulawesi yang berhasil aku rekam melalui
percakapan antara sahabatku Andi dan seorang lelaki tua yang kami temui di kota
itu.
Langit tampak mendung,
walau demikian tidak tampak adanya tanda-tanda akan turunnya hujan kecuali
hanya matahari yang tersapu oleh awan. Kami duduk di bundaran Tugu Muda,
melepas penat setelah puas berkeliling kota Semarang dan diakhiri dengan
menjelajahi penjara bawah tanah Lawang Sewu. Di bundaran, kami bertemu dengan
Pak Tua yang sedang asyik membaca buku. Di lihat dari cover-nya yang sadah kusam sepertinya buku jadul. Sekilas tampak
judulnya; Max Havelaar.
“Kalian ini asalnya dari mana?” sapa Pak Tua dengan nada
bersahabat, setelah sebelumnya Andi yang terlebih dahulu mengajak berkenalan.
“Kami dari Sulawesi,
Pak,” jawab kami serempak.
“Saya pernah tinggal di
Sulawesi, hampir 30 tahun saya disana. Sempat tinggal lama di Wakatobi sebelum
pindah ke Makassar. Pulau yang indah, masih banyak hutannya.” Wah, ternyata
kami bertemu dengan orang yang pernah tinggal di Sulawesi.
Pak Tua, dari
perawakannya tampak kalau Pak Tua ini kira-kira sudah berumur 60an. Walau
demikian, dia masih tampak sehat dan tegar, mungkin karena kebiasaannya yang
murah senyum dan suka berbagi pengalaman, membuatnya 10 tahun lebih muda dari
orang tua sebayanya. Dan, diskusi-diskusi kami dengan Pak Tua inilah yang
kemudian menjadi diskusi yang abadi kawan. Ada banyak hal yang kami bahas berhubungan
dengan status kami sebagai mahasiswa sekaligus status kami sebagai anak
perantauan yang berada jauh dari kampung halaman. Maka, dalam kesibukanku
sebagai mahasiswa, walau sempat bolos, aku tetap mencoba untuk menuliskan kisah
ini.
Pak Tua memulai percakapan,
“Saat itu aku masih berumur 20 tahun. Mungkin sama seperti kalian sekarang.”
“Benar Pak, kecuali
temanku yang satu ini,” sial Andi selalu membuka kartuku sebagai mantan
pengangguran sebelum jadi mahasiswa.
Pak Tua hanya tertawa,
“tidak apa-apa, aku juga dulu sama sepertimu, pernah menjadi pengangguran
sebelum kuliah. aku kuliah di Universitas Haluoleo, Kendari. Namun hanya
bertahan 1 tahun, karena tahun ke-2 aku sudah pindah ke Maros. Aku kuliah lagi
mulai dari semester awal, lanjut di Unhas Makassar, jurusan Ekonomi. Saat itu
Makassar belum ramai seperti sekarang, Pantai Losari bahkan belum menjadi objek
wisata, masih berupa jalanan lurus yang berbatasan dengan pasir tepi pantai.”
“Kau tahu Andi,” kali ini
Pak Tua fokus pada Andi yang memang berdarah bugis, keturunan asli Sulawesi.
Berbeda dengan aku yang blasteran, ibuku yang Jawa, tapi bapak yang Sulawesi,
toraja. Maka jangan heran kalau aku bisa bahasa jawa sekaligus toraja, beda
dengan Andi yang masih kaku lidahnya dengan logat jawa. “kenapa orang Sulawesi
di mata orang Jawa itu terkesan kasar, coba kau lihat mahasiswanya, hampir tiap
hari terlibat tawuran?”
“Itu karena faktor budaya
Pak,” jawabku. “orang Sulawesi hampir sama dengan orang-orang Sumatera yang
terkesan keras, baik dalam bicara maupun bersikap.”
“Sebanarnya tidak
sepenuhnya benar,” jawab Pak Tua, “aku ambil contoh orang Makassar, kebetulan
aku yang lama tinggal di sana. Cara bicara orang
makassar memang cenderung keras dan terkadang sedikit agak lantang. Namun keras
bukan berarti kasar, dan biasanya mereka langsung berbicara pada pokok
pembahasan dan tidak bertele-tele.”
“Lantas, bagaiamana Pak
Tua menanggapi kampus Unhas yang sering kita lihat di TV terlibat tawuran?”
Andi kali ini yang bertanya, dia memanggil beliau Pak Tua, tapi beliau tidak
marah, malah suka dengan panggilan itu.
“Itu karena media. Media yang membuat mindset mahasiswa Makassar itu terkesan
kasar. Ketika ada aksi-aksi entah yang
dilakukan mahasiswa atau organisasi
yang terdapat di Makassar, dalam hal ini yang mungkin berakhir bentrok dan
sebagianya, maka media langsung saja memblow up kejadian tersebut,” lanjut Pak
Tua seolah mengenag masa lalunya sebagai mahasiswa Makassar yang tidak ingin
mendapat pandangan buruk dari orang-orang yang bahkan belum pernah ke Makassar.
“bahkan tidak sedikit beritanya yang dilebih-lebihkan oleh media dari Ibukota
mengenai situasi Kota Makassar. Berbeda sekali ketika mahasiswa Makassar
ataupun organisasi di Makassar melakukan hal-hal positif, media terkadang tidak
tertarik untuk menyebarkannya.”
“Tapi itu kan dulu Pak, waktu Pak
Tua masih menjadi mahasiswa, sekarang beda. Makassar sudah menjadi kota
metropolitan yang dikunjungi oleh banyak orang dari berbagai daerah.” Andi
menyampaikan pendapatnya pada Pak Tua.
Sebenarnya, walaupun Andi orang Sulawesi,
tapi dia orang yang mengagumi kulturasi dan budaya jawa. Bahkan, dia
berkeinginan mencari jodoh orang jawa, ssst, untuk yang satu ini tolong jangan
bilang siapa-siapa, nanti aku kena semprot Andi. Tidak sedikit orang Sulawesi
yang cenderung sedikit mendiskreditkan budayanya sendiri. Dalam hal ini,
sahabatku Andi inilah orangnya. Walau demikian, aku tetap mengagumi keberanian
temanku yang satu ini. Andi bahkan datang sendiri ke pulau Jawa, saat aku sudah
setahun lebih berada di sini.
“Sama saja Andi, bukankah di Jawa
juga seperti itu. Kau lihat saja di Surabaya, bukankah di sana juga
orang-orangnya kasar dan suka tawuran.”
“Itu suporter Persebaya Pak, bukan
mahasiswa.” Kali ini aku yang bersuara.
“Tetap saja sama, tidak sedikit
Bonek Surabaya itu dari kalangan mahasiswa.” Jawab Pak Tua.
“Apakah Pak Tua tidak pernah
terlibat tawuran selama menjadi mahasiswa Unhas?” Andi mencoba bertanya,
mencari tahu seperti apa kehidupan Pak Tua ketika masih menjadi mahasiswa,
orang asli Semarang yang pernah lama tinggal di Sulawesi.
Seolah mencoba membuka kembali
kenangannya di masa lalu sebagai mahasiswa, dihadapan Andi, Pak Tua kali ini
tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa, “Aku dulu anggota geng, sering
membuat tawuran dengan mahasiswa lain dari kampus seberang, bahkan ikut
bergabung dengan suporter PSM, tidak sedikit dari kami yang berbuat anarkis,
apalagi saat klub kesayangan kami itu kalah.”
Kali ini aku ikut tertawa. Ternyata
Pak Tua mewariskan benar apa yang menjadi budaya sebagian besar pemuda
Makassar. Walau demikian ada satu ungkapannya yang ternyata menjadi alasan kuat
mengapa dia sangat menyukai budaya orang Sulawesi, dalam hal ini Makassar.
Sehingga, mindset-nya mengenai orang
Sulawesi itu selalu postif.
“Dalam hal tertentu, sikap tegas dan
budaya keras sangat kita perlukan. Lemah-lembut itulah yang justru melemahkan.
Mengapa bangsa Indonesia bisa dijajah puluhan tahun lamanya oleh Belanda. Itu
karena orangnya terlalu lemah dalam mengambil sikap. Sikap itu lahir dari
budaya, atau sebaliknya budaya itulah yang membuat kita bersikap sebagaimana
kita sekarang. Kau tahu, kenapa Sultan Hasanuddin itu sangat disegani oleh
orang-orang Portugis, itu karena beliau tidak pernah mau berkompromi dengan
pihak penjajah, tidak ada tawar-menawar dalam sejarah penjajahan. Begitu juga
Surapati, sampai saat ini, kalau kalian bertanya kepada orang-orang tua dulu,
khususnya orang Surabaya, maka tidak ada di antara mereka yang tidak mengenal
nama tersebut, bagaimana idelisnya dianggap sebagai ancaman oleh penjajah
Belanda. Belum lagi kalau kita mau membahas sosok Bung Tomo.”
“Untuk Surabaya, sangat bertolak
belakang bukan dengan budaya Jawa pada umumnya? Berapa banyak pegawai
pemerintahan pada masa pendudukan Hindia Belanda yang menjadi kurir Belanda?
Banyak di antara mereka yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi
pejabat atau lurah, bekerja untuk keperluan Hindia dengan cara memeras
penduduknya yang notabene merupakan saudaranya sendiri; sesama pribumi. Mereka,
para lurah-lurah itu terlalu lemah dihadapan penjajah. Dan ironisnya, pribumi
juga ternyata takut pada lurah-lurah. Jadilah ketakutan di atas ketakutan.”
Aku hanya bengong, masih belum
mengerti kemana arah pembicaraan Pak Tua.
“Cobalah
kau baca ini?” Pak Tua menyerahkan buku kusam yang dipegangnya sejak tadi
kepada Andi.
“Ini kan sejarah penjajahan Pak Tua,
tidak ada hubungannya dengan pembahasan kita mengenai tingkah-laku dan budaya
mahasiswa kita sekarang.” Andi mencoba menyangga pendapat Pak Tua.
“Sama saja Andi, janganlah kau
bantah aku,” Pak Tua mengambil jeda sejenak, “sikap kita terhadap kehidupan
sangat mempengaruhi sikap kehidupan terhadap kita. Dan sikap itu, tidak mungkin
hadir kalau tidak dipengaruhi oleh lingkungannya. Mungkin hanya aku yang berani
bilang kalau para Bonek itu mewarisi darah Bung Tomo. Orang jawa itu lemah
lembut karena budaya keraton yang mewajibkan seperti itu, apalagi kau kuliah di
Jogja, tentu banyak kau jumpai warganya yang lemah lembut bukan? Atau
jangan-jangan kau juga tertarik dengan kelemah-lembutan gadis Jawa?” Kali ini
Pak Tua bertanya sambil tersenyum.
Muka Andi langsung merah seperti
udang rebus. Aku hanya tersenyum, ikut merasakan kalimat terakhir Pak Tua
mengenai gadis jawa.
“Aku punya cucu yang manis, asli
orang jawa, seumuran kau. Mahasiswi. Cantik, baik, lemah-lembut orangnya.”
Tampak langit memerah, matahari
sebentar lagi akan kembali keperaduannya. Kehidupan hari ini berlalu dengan
kesibukan kota yang masih akan terus berlanjut hingga malam tiba.
***
Percakapan
hari itu berakhir begitu saja. Hari itu juga aku belajar, dan hikmah yang
besar; tidak ada budaya yang penuh warna dibelahan bumi manapun selain
Indonesia. Tidak ada. Bahkan ini hanya secuil budaya yang berhasil ter-ekspose
menjadi sebuah kisah yang aku tulis bersama Andi dan Pak Tua, di mana antara
mereka sebenarnya telah terjadi pertukaran budaya. Ada sekitar 700 suku budaya
yang ada di Indonesia, bahkan kita mengenal belum setengahnya.
Di
mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung.
TAMAT
Surakarta
Hadiningrat, 01 Desember 2013
0 komentar:
Posting Komentar