Juni 26, 2014

Mahasiswa dari pulau seberang.
Oleh ; Iwan Mariono (mahasiswa angkatan 2012)


Perkenalkan namaku Mariono, orang biasa memanggilku Iwan. Nama lengkapku Iwan Mariono. Saat ini aku sedang mendengarkan alunan seruling indah instrumen Bali karya Gus Teja berjudul hero, instrumen Bali pertama yang aku kenal langsung memikat hati karena alunannya yang syahdu menenangkan hati. Tahukah kalian setiap mendengarnya semakin mengingatkanku kepada kampung halaman.

Bukan. Aku bukan orang Bali. Bahkan ke Bali saja belum pernah. Hanya saja, setiap mendengarnya imajinasiku melayang jauh terbang; berbaring di gubuk kecil depan rumah dengan hamparan sawah yang luas sepanjang mata memandang. Hijau. Hanya hijau dan biru yang nampak sampai di ujung garis langit. Hanya sawah dan rumput alang-alang yang nampak sepanjang mata memandang. Semakin menenangkan dengan paduan suara gemricik air yang mengalir dari saluran kecil irigasi yang mengelilingi sekitarnya.
“Kau tidak kuliah hari ini?”
Suara khas itu bertanya, menepuk bahuku, memutus lamunanku pagi ini tentang indahnya alam pedesaan kami. Adalah Andi, teman sejawatku dalam perantauan ini. Kami yang sama-sama dari Morowali, sebuah daerah di ujung tenggara Sulawesi Tengah.
“Tidak, hari ini aku mau bolos dulu,” jawabku dengan tegas seraya menawarkan Andi jalan-jalan kemana tempat yang bagus untuk dikunjungi hari ini.
“Ke Simpang Lima, ke Lawang Sewu, kayaknya bagus.” jawabnya dengan mantap.
Senyum mengembang di bibirku. Ide yang bagus. Akhirnya, dengan berbekal motor Beat putih kesayanganku itu, pagi ini kami berangkat ke Semarang.

Sepanjang perjalanan, kami melewati indahnya Magelang, kota terbersih yang berhasil meraih adipura se-Jawa Tengah. Berangkat dari arah Jogja otomatis tidak lewat alun-alun, karena ada jalan perboden. Sering aku ditahan Polisi karena ketahuan melanggar jalan satu arah. Kadang jadi geli tertawa jika mengingat kenakalan ketika SMA di Palu dulu, bagaimana aku dan Andi sering mencoba kabur lewat jalan tikus alias lorong-lorong saat ketahuan melanggar. Dasar bocah nakal. Hanya bisa tertawa mengingatnya. Kami berteman sejak masih SMA di Palu.
Ini adalah bolos pertamaku sejak diterima jadi Mahasiswa Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Aku lebih suka menyebutnya Sukoharjo. Karena memang, lokasi tempat kuliah itu berdomisili di Kabupaten Sukoharjo. Sering aku dan teman-teman memelesetkannya dalam bahasa Jawa; UMS, Universitas Meh Solo, yang berarti universitas dekat Solo, karena letaknya di Sukoharjo yang sudah bukan daerah Solo, nama populer Surakarta. Andi sendiri kuliah di Jogja, jurusan Teknik Industri, Akprind. itulah sebabnya perjalanan ke Semarang pagi ini kami melewati Magelang, karena jum’at malam sebelumnya aku jalan-jalan ke Jogja, menginap di kontrakan Andi yang tidak jauh dari kampusnya. Hingga pagi ini, rencana jalan-jalan itu muncul dengan sendirinya.

Walau kami tidak satu jurusan, itu tidak membuat persahabatan kami regang, justru menjadi kiat erat. Selain karena kami satu kampung halaman, teman sejak kecil, hal yang membuat persahabatanku erat, kami juga sama-sama kolektor buku sejak datang di Jawa. Hal yang tidak pernah kami lakukan ketika masih di Sulawesi, selain karena harga buku-buku yang mahal juga karena memang tidak ada toko buku seperti Gramedia, Togamas, SAB, disana.

Ada hal menarik yang kami temui ketika berkunjung ke Semarang. Mungkin inilah transformasi budaya melalui institusi pendidikan antara Jawa dan Sulawesi yang berhasil aku rekam melalui percakapan antara sahabatku Andi dan seorang lelaki tua yang kami temui di kota itu.

Langit tampak mendung, walau demikian tidak tampak adanya tanda-tanda akan turunnya hujan kecuali hanya matahari yang tersapu oleh awan. Kami duduk di bundaran Tugu Muda, melepas penat setelah puas berkeliling kota Semarang dan diakhiri dengan menjelajahi penjara bawah tanah Lawang Sewu. Di bundaran, kami bertemu dengan Pak Tua yang sedang asyik membaca buku. Di lihat dari cover-nya yang sadah kusam sepertinya buku jadul. Sekilas tampak judulnya; Max Havelaar.

            “Kalian ini asalnya dari mana?” sapa Pak Tua dengan nada bersahabat, setelah sebelumnya Andi yang terlebih dahulu mengajak berkenalan.
“Kami dari Sulawesi, Pak,” jawab kami serempak.
“Saya pernah tinggal di Sulawesi, hampir 30 tahun saya disana. Sempat tinggal lama di Wakatobi sebelum pindah ke Makassar. Pulau yang indah, masih banyak hutannya.” Wah, ternyata kami bertemu dengan orang yang pernah tinggal di Sulawesi.

Pak Tua, dari perawakannya tampak kalau Pak Tua ini kira-kira sudah berumur 60an. Walau demikian, dia masih tampak sehat dan tegar, mungkin karena kebiasaannya yang murah senyum dan suka berbagi pengalaman, membuatnya 10 tahun lebih muda dari orang tua sebayanya. Dan, diskusi-diskusi kami dengan Pak Tua inilah yang kemudian menjadi diskusi yang abadi kawan. Ada banyak hal yang kami bahas berhubungan dengan status kami sebagai mahasiswa sekaligus status kami sebagai anak perantauan yang berada jauh dari kampung halaman. Maka, dalam kesibukanku sebagai mahasiswa, walau sempat bolos, aku tetap mencoba untuk menuliskan kisah ini.
Pak Tua memulai percakapan, “Saat itu aku masih berumur 20 tahun. Mungkin sama seperti kalian sekarang.”
“Benar Pak, kecuali temanku yang satu ini,” sial Andi selalu membuka kartuku sebagai mantan pengangguran sebelum jadi mahasiswa.
Pak Tua hanya tertawa, “tidak apa-apa, aku juga dulu sama sepertimu, pernah menjadi pengangguran sebelum kuliah. aku kuliah di Universitas Haluoleo, Kendari. Namun hanya bertahan 1 tahun, karena tahun ke-2 aku sudah pindah ke Maros. Aku kuliah lagi mulai dari semester awal, lanjut di Unhas Makassar, jurusan Ekonomi. Saat itu Makassar belum ramai seperti sekarang, Pantai Losari bahkan belum menjadi objek wisata, masih berupa jalanan lurus yang berbatasan dengan pasir tepi pantai.”

“Kau tahu Andi,” kali ini Pak Tua fokus pada Andi yang memang berdarah bugis, keturunan asli Sulawesi. Berbeda dengan aku yang blasteran, ibuku yang Jawa, tapi bapak yang Sulawesi, toraja. Maka jangan heran kalau aku bisa bahasa jawa sekaligus toraja, beda dengan Andi yang masih kaku lidahnya dengan logat jawa. “kenapa orang Sulawesi di mata orang Jawa itu terkesan kasar, coba kau lihat mahasiswanya, hampir tiap hari terlibat tawuran?”

“Itu karena faktor budaya Pak,” jawabku. “orang Sulawesi hampir sama dengan orang-orang Sumatera yang terkesan keras, baik dalam bicara maupun bersikap.”
“Sebanarnya tidak sepenuhnya benar,” jawab Pak Tua, “aku ambil contoh orang Makassar, kebetulan aku yang lama tinggal di sana. Cara bicara orang makassar memang cenderung keras dan terkadang sedikit agak lantang. Namun keras bukan berarti kasar, dan biasanya mereka langsung berbicara pada pokok pembahasan dan tidak bertele-tele.”
“Lantas, bagaiamana Pak Tua menanggapi kampus Unhas yang sering kita lihat di TV terlibat tawuran?” Andi kali ini yang bertanya, dia memanggil beliau Pak Tua, tapi beliau tidak marah, malah suka dengan panggilan itu.

            “Itu karena media. Media yang membuat mindset mahasiswa Makassar itu terkesan kasar. Ketika ada aksi-aksi entah yang dilakukan mahasiswa atau organisasi yang terdapat di Makassar, dalam hal ini yang mungkin berakhir bentrok dan sebagianya, maka media langsung saja memblow up kejadian tersebut,” lanjut Pak Tua seolah mengenag masa lalunya sebagai mahasiswa Makassar yang tidak ingin mendapat pandangan buruk dari orang-orang yang bahkan belum pernah ke Makassar. “bahkan tidak sedikit beritanya yang dilebih-lebihkan oleh media dari Ibukota mengenai situasi Kota Makassar. Berbeda sekali ketika mahasiswa Makassar ataupun organisasi di Makassar melakukan hal-hal positif, media terkadang tidak tertarik untuk menyebarkannya.”
            “Tapi itu kan dulu Pak, waktu Pak Tua masih menjadi mahasiswa, sekarang beda. Makassar sudah menjadi kota metropolitan yang dikunjungi oleh banyak orang dari berbagai daerah.” Andi menyampaikan pendapatnya pada Pak Tua.

            Sebenarnya, walaupun Andi orang Sulawesi, tapi dia orang yang mengagumi kulturasi dan budaya jawa. Bahkan, dia berkeinginan mencari jodoh orang jawa, ssst, untuk yang satu ini tolong jangan bilang siapa-siapa, nanti aku kena semprot Andi. Tidak sedikit orang Sulawesi yang cenderung sedikit mendiskreditkan budayanya sendiri. Dalam hal ini, sahabatku Andi inilah orangnya. Walau demikian, aku tetap mengagumi keberanian temanku yang satu ini. Andi bahkan datang sendiri ke pulau Jawa, saat aku sudah setahun lebih berada di sini.

            “Sama saja Andi, bukankah di Jawa juga seperti itu. Kau lihat saja di Surabaya, bukankah di sana juga orang-orangnya kasar dan suka tawuran.”
            “Itu suporter Persebaya Pak, bukan mahasiswa.” Kali ini aku yang bersuara.
            “Tetap saja sama, tidak sedikit Bonek Surabaya itu dari kalangan mahasiswa.” Jawab Pak Tua.
            “Apakah Pak Tua tidak pernah terlibat tawuran selama menjadi mahasiswa Unhas?” Andi mencoba bertanya, mencari tahu seperti apa kehidupan Pak Tua ketika masih menjadi mahasiswa, orang asli Semarang yang pernah lama tinggal di Sulawesi.

            Seolah mencoba membuka kembali kenangannya di masa lalu sebagai mahasiswa, dihadapan Andi, Pak Tua kali ini tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa, “Aku dulu anggota geng, sering membuat tawuran dengan mahasiswa lain dari kampus seberang, bahkan ikut bergabung dengan suporter PSM, tidak sedikit dari kami yang berbuat anarkis, apalagi saat klub kesayangan kami itu kalah.”
            Kali ini aku ikut tertawa. Ternyata Pak Tua mewariskan benar apa yang menjadi budaya sebagian besar pemuda Makassar. Walau demikian ada satu ungkapannya yang ternyata menjadi alasan kuat mengapa dia sangat menyukai budaya orang Sulawesi, dalam hal ini Makassar. Sehingga, mindset-nya mengenai orang Sulawesi itu selalu postif.
            “Dalam hal tertentu, sikap tegas dan budaya keras sangat kita perlukan. Lemah-lembut itulah yang justru melemahkan. Mengapa bangsa Indonesia bisa dijajah puluhan tahun lamanya oleh Belanda. Itu karena orangnya terlalu lemah dalam mengambil sikap. Sikap itu lahir dari budaya, atau sebaliknya budaya itulah yang membuat kita bersikap sebagaimana kita sekarang. Kau tahu, kenapa Sultan Hasanuddin itu sangat disegani oleh orang-orang Portugis, itu karena beliau tidak pernah mau berkompromi dengan pihak penjajah, tidak ada tawar-menawar dalam sejarah penjajahan. Begitu juga Surapati, sampai saat ini, kalau kalian bertanya kepada orang-orang tua dulu, khususnya orang Surabaya, maka tidak ada di antara mereka yang tidak mengenal nama tersebut, bagaimana idelisnya dianggap sebagai ancaman oleh penjajah Belanda. Belum lagi kalau kita mau membahas sosok Bung Tomo.”
            “Untuk Surabaya, sangat bertolak belakang bukan dengan budaya Jawa pada umumnya? Berapa banyak pegawai pemerintahan pada masa pendudukan Hindia Belanda yang menjadi kurir Belanda? Banyak di antara mereka yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi pejabat atau lurah, bekerja untuk keperluan Hindia dengan cara memeras penduduknya yang notabene merupakan saudaranya sendiri; sesama pribumi. Mereka, para lurah-lurah itu terlalu lemah dihadapan penjajah. Dan ironisnya, pribumi juga ternyata takut pada lurah-lurah. Jadilah ketakutan di atas ketakutan.”
            Aku hanya bengong, masih belum mengerti kemana arah pembicaraan Pak Tua.
“Cobalah kau baca ini?” Pak Tua menyerahkan buku kusam yang dipegangnya sejak tadi kepada Andi.
            “Ini kan sejarah penjajahan Pak Tua, tidak ada hubungannya dengan pembahasan kita mengenai tingkah-laku dan budaya mahasiswa kita sekarang.” Andi mencoba menyangga pendapat Pak Tua.
            “Sama saja Andi, janganlah kau bantah aku,” Pak Tua mengambil jeda sejenak, “sikap kita terhadap kehidupan sangat mempengaruhi sikap kehidupan terhadap kita. Dan sikap itu, tidak mungkin hadir kalau tidak dipengaruhi oleh lingkungannya. Mungkin hanya aku yang berani bilang kalau para Bonek itu mewarisi darah Bung Tomo. Orang jawa itu lemah lembut karena budaya keraton yang mewajibkan seperti itu, apalagi kau kuliah di Jogja, tentu banyak kau jumpai warganya yang lemah lembut bukan? Atau jangan-jangan kau juga tertarik dengan kelemah-lembutan gadis Jawa?” Kali ini Pak Tua bertanya sambil tersenyum.
            Muka Andi langsung merah seperti udang rebus. Aku hanya tersenyum, ikut merasakan kalimat terakhir Pak Tua mengenai gadis jawa.
            “Aku punya cucu yang manis, asli orang jawa, seumuran kau. Mahasiswi. Cantik, baik, lemah-lembut orangnya.”
            Tampak langit memerah, matahari sebentar lagi akan kembali keperaduannya. Kehidupan hari ini berlalu dengan kesibukan kota yang masih akan terus berlanjut hingga malam tiba.
***
Percakapan hari itu berakhir begitu saja. Hari itu juga aku belajar, dan hikmah yang besar; tidak ada budaya yang penuh warna dibelahan bumi manapun selain Indonesia. Tidak ada. Bahkan ini hanya secuil budaya yang berhasil ter-ekspose menjadi sebuah kisah yang aku tulis bersama Andi dan Pak Tua, di mana antara mereka sebenarnya telah terjadi pertukaran budaya. Ada sekitar 700 suku budaya yang ada di Indonesia, bahkan kita mengenal belum setengahnya.
Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung.

TAMAT


Surakarta Hadiningrat, 01 Desember 2013

0 komentar:

Posting Komentar