Jika Saja, Agamaku
Memperbolehkan Untuk Meminangmu
Oleh
: Vega Ramadhani Wiguna (angkatan 2012)
Sumber : pecandumu.blogspot.com
Ini sudah menit ketigapuluh dan kami
berdua masih membisu. Saling berhadapan, tapi saling memalingkan muka. Dia
sudah menyesap habis dua batang rokoknya, ini yang ketiga. Kulihat dia meminum
cokelat panas dari cangkirnya, Oh Tuhan, betapa tampannya mahkluk yang Kau
ciptakan ini? Rona merah dari pipinya melunturkan pertahananku untuk tidak
menatapnya.
“Ayo, diminum itu cokelatmu. Keburu dingin.”
Aku tidak menjawab, namun segera ikut
meminum cokelat panas dari cangkirku.
“Masih ingat tidak, saat kita kesini
pertama kali?”
Aku mengangguk. Bagaimana bisa aku lupa?
Karena dialah aku ikut menggilai cokelat. Tempat ini, persis tempat dimana kami
pertama kali kesini. Di pojok balkon atas. Tempat favorit kami berdua selama
dua tahun terakhir ini.
“Kamu mau membisu nyampe kapan? Kamu
tahu pasti aku gak suka didiemin.” Dia mendengus kesal sambil menyesap rokoknya
kuat-kuat.
“Terus, apa aku masih berpengaruh?”
“Kenapa tidak?”
Aku menghela nafas panjang. Rasanya
setiap kata yang aku ucapkan, semakin memburu air mataku untuk jatuh. Dan
jelas, aku tak ingin dia tahu bahwa aku tidak baik-baik saja.
“Sekar.” Dia menyebut lembut namaku,
dengan nada merajuk, seperti kebiasaannya.
“Jangan sebut namaku seperti itu.”
“Dulu, kamu paling suka aku menyebut
namamu seperti tadi.”
Dulu? Sampai sekarang pun aku masih sangat menyukainya, Bodoh!
“Kamu tahu aku mencintaimu, Sekar.”
“Cukup. Jangan.”—sergahku tanpa menatap
matanya—“Jangan katakan seolah kamu masih sangat menginginkanku. Aku tahu kamu
ingin meninggalkanku, mencampakkanku. Kumohon, katakan saja hal-hal yang bisa
membuatku menerima keputusanmu itu.”
“Aku tidak mencampakkanmu. Aku hanya
ingin kita terlepas menjadi aku-kamu, seperti sebelum kita mengikat cinta.”
“Terlepas? Apa bedanya dengan
meninggalkan?”
Dia menghela nafas. Aku tahu, aku selalu
menjadi menyebalkan pada saat seperti ini.
“Hubungan kita tak akan pernah berhasil.
Akan tetap berjalan ditempat, tanpa tahu bagaimana menentukan akhirnya. Tembok
itu sudah terlampaui tinggi, Sayang. Aku tak sanggup lagi untuk
meruntuhkannya.”
Aku menyembunyikan isakku dengan meraih
cangkir cokelatku tanpa benar-benar meminumnya. Pria dihadapanku ini
memalingkan mukanya. Aku senang dia tahu aku sedang tak ingin dilihat.
“Kenapa di Indonesia selalu seperti ini?
Perbedaan Agama selalu menjadi alasan perpisahan. Bukankah, suku-suku di
Indonesia juga banyak? Saling berbeda, tapi saling hidup bersama.” Kataku,
setelah beberapa menit berlalu dengan hening.
“Jangan salahkan Indonesia.”
“Kenapa Allah menciptakan bermacam-macam
agama jika Dia hanya ingin disembah dengan satu agama saja?” tanyaku semakin
menyalahkan apapun.
“Sudahlah, kita sudah pernah membahas
ini sebelumnya. Tidak akan pernah selesai. Kita yang salah. Bukan, aku yang
salah. Menjatuhcintakan diriku sendiri padamu. Harusnya dari awal, aku tahu
akan begini akhirnya.”
“Kamu tahu aku juga mencintaimu, bukan?
Sangat mencintaimu.” Kataku setengah kesal.
“Itu salahku.”
“Kamu anggap rasa cintaku
kesalahan?”—nada suaraku meninggi sendirinya.
Dia mematikan rokok, lalu menyesap
cangkir cokelatnya.
“Kita bisa apa? Aku pindah ke agamamu
apa kamu pindah ke agamaku? Tentu aja gak mungkin. Apa kita berdua pindah ke
agama lain, selain Islam dan Kristen? Malah gak mungkin, kan?”
Kata-katanya barusan menghenyakkanku.
Aku bergidik. Bagaimana mungkin aku bisa menghianati komitmenku dengan Tuhan?
Tapi, kata-katanya memang benar. Dia selalu benar.
Sudah berapa pasangan yang nasibnya sama
denganku? Berpisah karena alasan berbeda agama. Iya, kuakui aku seorang Kristen
yang taat. Dia juga seorang Islam yang taat, keluarganya berhijab, orangtuanya
pun Haji.
“Apa kau telah menemukan separuh hati
yang lain, selain hatiku?”
Dia menatapku tak senang dan setengah
mengejek.
“Apa ada hati lain yang mampu mendiami
hatiku, seperti hatimu? Jangan buat fantasi sendiri. Kamu tahu bukan tabiatku
untuk mendua.”
Aku hanya terdiam.
“Sekar. Kamu tahu namamu selalu menjadi
favoriteku, bukan? Mengingatkanku pada bunga. Ah, Lissianthus. Bunga yang
sangat indah, namun sangat rapuh. Sulit tumbuh disembarang tempat, sulit
ditemukan, sulit dimiliki juga.”
“Namamu juga favoriteku, Gas. Aku selalu
merapalkan namamu dalam doaku. Ketika penjagaanku tak lagi sampai, aku yakin
Tuhan menjagamu dengan baik. Aku senang memperbincangkanmu dengan Tuhan.”
Ah, bukankah itu rahasiaku dengan Tuhan?
Kenapa kuceritakan padanya?
Bagas, nama pria dihadapanku, yang
menyebalkan itu, mengacak-acak rambutku.
“Bisakah kita kembali lagi? Seperti
setahun lalu, saat itu kita juga memutuskan untuk berpisah?” pintaku ditengah
suaraku yang berubah parau menggelikan.
Dia menggeleng.
“Aku akan pergi dari hidupmu, setelah
ini. Menghapus semua hal yang bisa membuatku menghubungimu lagi. Tak lelahkah
kamu dengan hubungan seperti ini? Berjalan di tempat. Tak mempunyai hasil
akhir.”
Aku tak bisa lagi menahan air mata yang
jatuh. Bagas cepat-cepat berpaling, memberiku waktu untuk menghapusnya. Dia
mungkin tahu, aku tak ingin terlihat lemah dihadapannya.
“Maafkan aku.”—lirihnya—“sebenarnya aku
benci menjadi satu-satunya alasan dibalik tangismu. Maukah kamu tak
menjadikanku alasan lagi? Berjanjilah kamu akan tertawa seperti yang
sudah-sudah. Berjanjilah kamu akan cepat menemukan orang lain dibalik tawamu.”
Aku masih sibuk menahan air mataku,
menghapusnya cepat-cepat, sehingga hanya bisa mengangguk menanggapi Bagas.
“Kita tahu, rasa cinta itu masih sangat
melekat kuat. Tapi, kita juga tahu, itu kesalahan, kan?”
“Argh. Bisakah kamu mengucapkan
kata-kata buruk saja? Daripada berkata seolah-olah kamu menginginkanku. Jangan
buat aku kesulitan untuk membebaskan kita, menjadi keaku-kamuan seperti yang
kamu minta.”
Kami semua terdiam. Sejenak musik dari
gerai cokelat, mengalun memenuhi atmosfir di sekitar kami. Aku mengenali lagu
itu, sebagai lagu yang sudah sering kami skip dan sudah lama kami hapus dari
gadget kami masing-masing.
Tuhan memang satu,
Kita yang tak sama …
Haruskah aku, lantas
pergi?
Meski cinta kita tak akan
bisa mati …
“Aku menyayangimu, Gas.”—ucapku lirih.
Bagas hanya tersenyum. Dia memberiku
waktu untuk menenangkan diri dan memastikan bahwa air mataku tak lagi jatuh
dihadapannya.
“Sudah siap pulang?”
Aku mengangguk. Bagas membayar tagihan
kami, sedangkan aku sudah menuruni tangga gerai sendirian menuju tempat parkir
mobil di bawah.
Tak lama, Bagas dengan cengirannya yang
biasa, menyambutku dan membukakan pintu mobil untukku.
“Boleh aku memelukmu, untuk yang
terakhir kalinya?”—aku memelankan nada pada kata terakhir. Bagaimana bisa
terakhir kali menjadi kata yang kuucapkan pada lelaki yang sudah pasti kucintai
selamanya itu?
Bagas mengabulkan permintaanku. Kami
saling memeluk erat. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak membenamkan air
mataku dalam pelukannya, pelukan terakhir kami.
Dari sudut-sudut bibirnya, kudengar
Bagas berbisik dengan sangat jelas…
“Jika saja, Agamaku memperbolehkan untuk
meminangmu…”
0 komentar:
Posting Komentar