Juni 26, 2014

Jika Saja, Agamaku Memperbolehkan Untuk Meminangmu

Jika Saja, Agamaku Memperbolehkan Untuk Meminangmu
Oleh : Vega Ramadhani Wiguna (angkatan 2012)
Sumber : pecandumu.blogspot.com

Ini sudah menit ketigapuluh dan kami berdua masih membisu. Saling berhadapan, tapi saling memalingkan muka. Dia sudah menyesap habis dua batang rokoknya, ini yang ketiga. Kulihat dia meminum cokelat panas dari cangkirnya, Oh Tuhan, betapa tampannya mahkluk yang Kau ciptakan ini? Rona merah dari pipinya melunturkan pertahananku untuk tidak menatapnya.
“Ayo, diminum itu cokelatmu. Keburu dingin.”
Aku tidak menjawab, namun segera ikut meminum cokelat panas dari cangkirku.
“Masih ingat tidak, saat kita kesini pertama kali?”
Aku mengangguk. Bagaimana bisa aku lupa? Karena dialah aku ikut menggilai cokelat. Tempat ini, persis tempat dimana kami pertama kali kesini. Di pojok balkon atas. Tempat favorit kami berdua selama dua tahun terakhir ini.
“Kamu mau membisu nyampe kapan? Kamu tahu pasti aku gak suka didiemin.” Dia mendengus kesal sambil menyesap rokoknya kuat-kuat.
“Terus, apa aku masih berpengaruh?”
“Kenapa tidak?”
Aku menghela nafas panjang. Rasanya setiap kata yang aku ucapkan, semakin memburu air mataku untuk jatuh. Dan jelas, aku tak ingin dia tahu bahwa aku tidak baik-baik saja.
“Sekar.” Dia menyebut lembut namaku, dengan nada merajuk, seperti kebiasaannya.
“Jangan sebut namaku seperti itu.”
“Dulu, kamu paling suka aku menyebut namamu seperti tadi.”
Dulu? Sampai sekarang pun aku masih sangat menyukainya, Bodoh!
“Kamu tahu aku mencintaimu, Sekar.”
“Cukup. Jangan.”—sergahku tanpa menatap matanya—“Jangan katakan seolah kamu masih sangat menginginkanku. Aku tahu kamu ingin meninggalkanku, mencampakkanku. Kumohon, katakan saja hal-hal yang bisa membuatku menerima keputusanmu itu.”
“Aku tidak mencampakkanmu. Aku hanya ingin kita terlepas menjadi aku-kamu, seperti sebelum kita mengikat cinta.”
“Terlepas? Apa bedanya dengan meninggalkan?”
Dia menghela nafas. Aku tahu, aku selalu menjadi menyebalkan pada saat seperti ini.
“Hubungan kita tak akan pernah berhasil. Akan tetap berjalan ditempat, tanpa tahu bagaimana menentukan akhirnya. Tembok itu sudah terlampaui tinggi, Sayang. Aku tak sanggup lagi untuk meruntuhkannya.”
Aku menyembunyikan isakku dengan meraih cangkir cokelatku tanpa benar-benar meminumnya. Pria dihadapanku ini memalingkan mukanya. Aku senang dia tahu aku sedang tak ingin dilihat.
“Kenapa di Indonesia selalu seperti ini? Perbedaan Agama selalu menjadi alasan perpisahan. Bukankah, suku-suku di Indonesia juga banyak? Saling berbeda, tapi saling hidup bersama.” Kataku, setelah beberapa menit berlalu dengan hening.
“Jangan salahkan Indonesia.”
“Kenapa Allah menciptakan bermacam-macam agama jika Dia hanya ingin disembah dengan satu agama saja?” tanyaku semakin menyalahkan apapun.
“Sudahlah, kita sudah pernah membahas ini sebelumnya. Tidak akan pernah selesai. Kita yang salah. Bukan, aku yang salah. Menjatuhcintakan diriku sendiri padamu. Harusnya dari awal, aku tahu akan begini akhirnya.”
“Kamu tahu aku juga mencintaimu, bukan? Sangat mencintaimu.” Kataku setengah kesal.
“Itu salahku.”
“Kamu anggap rasa cintaku kesalahan?”—nada suaraku meninggi sendirinya.
Dia mematikan rokok, lalu menyesap cangkir cokelatnya.
“Kita bisa apa? Aku pindah ke agamamu apa kamu pindah ke agamaku? Tentu aja gak mungkin. Apa kita berdua pindah ke agama lain, selain Islam dan Kristen? Malah gak mungkin, kan?”
Kata-katanya barusan menghenyakkanku. Aku bergidik. Bagaimana mungkin aku bisa menghianati komitmenku dengan Tuhan? Tapi, kata-katanya memang benar. Dia selalu benar.
Sudah berapa pasangan yang nasibnya sama denganku? Berpisah karena alasan berbeda agama. Iya, kuakui aku seorang Kristen yang taat. Dia juga seorang Islam yang taat, keluarganya berhijab, orangtuanya pun Haji.
“Apa kau telah menemukan separuh hati yang lain, selain hatiku?”
Dia menatapku tak senang dan setengah mengejek.
“Apa ada hati lain yang mampu mendiami hatiku, seperti hatimu? Jangan buat fantasi sendiri. Kamu tahu bukan tabiatku untuk mendua.”
Aku hanya terdiam.
“Sekar. Kamu tahu namamu selalu menjadi favoriteku, bukan? Mengingatkanku pada bunga. Ah, Lissianthus. Bunga yang sangat indah, namun sangat rapuh. Sulit tumbuh disembarang tempat, sulit ditemukan, sulit dimiliki juga.”
“Namamu juga favoriteku, Gas. Aku selalu merapalkan namamu dalam doaku. Ketika penjagaanku tak lagi sampai, aku yakin Tuhan menjagamu dengan baik. Aku senang memperbincangkanmu dengan Tuhan.”
Ah, bukankah itu rahasiaku dengan Tuhan? Kenapa kuceritakan padanya?
Bagas, nama pria dihadapanku, yang menyebalkan itu, mengacak-acak rambutku.
“Bisakah kita kembali lagi? Seperti setahun lalu, saat itu kita juga memutuskan untuk berpisah?” pintaku ditengah suaraku yang berubah parau menggelikan.
Dia menggeleng.
“Aku akan pergi dari hidupmu, setelah ini. Menghapus semua hal yang bisa membuatku menghubungimu lagi. Tak lelahkah kamu dengan hubungan seperti ini? Berjalan di tempat. Tak mempunyai hasil akhir.”
Aku tak bisa lagi menahan air mata yang jatuh. Bagas cepat-cepat berpaling, memberiku waktu untuk menghapusnya. Dia mungkin tahu, aku tak ingin terlihat lemah dihadapannya.
“Maafkan aku.”—lirihnya—“sebenarnya aku benci menjadi satu-satunya alasan dibalik tangismu. Maukah kamu tak menjadikanku alasan lagi? Berjanjilah kamu akan tertawa seperti yang sudah-sudah. Berjanjilah kamu akan cepat menemukan orang lain dibalik tawamu.”
Aku masih sibuk menahan air mataku, menghapusnya cepat-cepat, sehingga hanya bisa mengangguk menanggapi Bagas.
“Kita tahu, rasa cinta itu masih sangat melekat kuat. Tapi, kita juga tahu, itu kesalahan, kan?”
“Argh. Bisakah kamu mengucapkan kata-kata buruk saja? Daripada berkata seolah-olah kamu menginginkanku. Jangan buat aku kesulitan untuk membebaskan kita, menjadi keaku-kamuan seperti yang kamu minta.”
Kami semua terdiam. Sejenak musik dari gerai cokelat, mengalun memenuhi atmosfir di sekitar kami. Aku mengenali lagu itu, sebagai lagu yang sudah sering kami skip dan sudah lama kami hapus dari gadget kami masing-masing.

Tuhan memang satu,
Kita yang tak sama …
Haruskah aku, lantas pergi?
Meski cinta kita tak akan bisa mati …

“Aku menyayangimu, Gas.”—ucapku lirih.
Bagas hanya tersenyum. Dia memberiku waktu untuk menenangkan diri dan memastikan bahwa air mataku tak lagi jatuh dihadapannya.
“Sudah siap pulang?”
Aku mengangguk. Bagas membayar tagihan kami, sedangkan aku sudah menuruni tangga gerai sendirian menuju tempat parkir mobil di bawah.
Tak lama, Bagas dengan cengirannya yang biasa, menyambutku dan membukakan pintu mobil untukku.
“Boleh aku memelukmu, untuk yang terakhir kalinya?”—aku memelankan nada pada kata terakhir. Bagaimana bisa terakhir kali menjadi kata yang kuucapkan pada lelaki yang sudah pasti kucintai selamanya itu?
Bagas mengabulkan permintaanku. Kami saling memeluk erat. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak membenamkan air mataku dalam pelukannya, pelukan terakhir kami.
Dari sudut-sudut bibirnya, kudengar Bagas berbisik dengan sangat jelas…
“Jika saja, Agamaku memperbolehkan untuk meminangmu…”


0 komentar:

Posting Komentar