• PILPRES, MAU PILIH SIAPA?


    25 Juni 2014
  • NILAIKU MALANG LIBURANKU SAYANG


    25 Juni 2014
  • DOKTER KECIL FK UMS


    25 Juni 2014
  • BELAJAR BARENG CORNEA FK UMS


    22 Mei 2014
  • OKNUM PENIPU, MAHASISWA FK UMS RESAH


    17 Mei 2014
  • DELEGASI TBM FK UMS KE UNSOED


    13 Mei 2014
  • WISUDA, 4 CUMLAUDE FK UMS
    9 Mei 2014
  • ASSALAMU’ALAYKUM, WORLD !!!


    4 Mei 2014
  • PEMBAJAK KESEHATAN DALAM OEDEMA


    6 Mei 2014
  • PELATIHAN GYRUS, SIAPKAN MODAL PPGD


    4 Mei 2014
  • PELANTIKAN DAN JANJI DOKTER MUDA FAKULTAS KEDOKTERAN UMS


    1 Mei 2014
  • BEM FK UMS KIRIMKAN DELEGASI SEKOLAH KASTRAD


    1 Mei 2014
  • SISTIM PENGUMUMAN NILAI DAN TEKANAN PSIKIS


    1 Mei 2014
  • SI KECIL YANG BERDAMPAK HEBAT!


    30 April 2014
  • TBM FK UMS SHARE BLOOD SHARE LIFE


    29 April 2014
  • BULAN BAKTI BEM FK UMS, PEDULI IBU DAN ANAK


    29 April 2014
  • OPEN RECRUITMENT MAESTRO FK UMS


    28 Maret 2014
  • OPEN RECRUITMENT PENGURUS HARIAN NASIONAL BPN ISMKI 2014-2015


    28 Februari 2014
  • KOSTA FK UMS DATANGKAN BINTANG


    3 Desember 2013

Maret 12, 2016

MAESTRO BACK FOR YOU


Assalamu'alaikum wr. wb.

Hai, Teman. Setelah sekitar setahun kita vakum dari dunia blog, kita bakal kembali menyapa kalian setiap hari dengan menghadirkan berita-berita yang tentunya up to date.


Karena kita bakal kembali rutin menemani hari-hari kalian, tidak ada salahnya MAESTRO memperkanalkan anggota barunya, kan? Penasaran siapa aja anggota-anggota MAESTRO 2016? Tenang, yuk cek video kita di Youtube. Link-nya ada di bawah sini. Jangan lupa subscribe yaa :)

MAESTRO FK UMS 2016


Mau lebih kenal dan up date berita lewat LPM MAESTRO? Bisa banget. Ga cuma Youtube, kita punya beberapa sosial media yang bisa kamu tambahin dari gadget kamu. Mau tau apa aja?

LINE : @bwo6853n
Instagram : maestrofkums
Path : Maestro FK UMS
Twitter : MaestroUMS

Salam, Pecinta Berita.

Wassalamu'alaikum wr. wb.

Agustus 27, 2014

Tampilan baru PPA FK UMS 2014

pemberian materi saat penyelenggaran PPA.

Surakarta - Badan eksekutif mahasiswa Fakultas Kedokteran UMS, Senin (25/8/2014) melaksanakan kegiatan program pengenalan akademik(PPA) yang bertujuan untuk mengenalkan universitas dan kampus kepada mahasiswa baru tahun  ajaran 2014/2015 di kampus 4 UMS. Kegiatan PPA kali ini akan dilangsungkan selama 3 hari sampai pada tanggal 27 Agustus 2014.
            Pada kegiatan tahun ini terdapat sedikit perbedaan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, dikarenakan turunnya SK rektorat mengenai dihapuskannya koordinator lapangan yang terkesan keras dan menyeluruh. Perubahan yang terjadi langsung di tanggapi oleh Bayu hendro wibowo selaku gubernur BEM FK UMS. “Sekarang bentuk teguran bukan lagi terkesan keras (meneriaki) akan tetapi berganti dengan ketegasan dan terdapat buku regulasi berisi point serta penilaian mahasiswa baru yang dikoordinasikan panitia dan dekanat”. Bayu juga menambahkan pemberian tugas pada mahasiswa baru dibentuk sedemikian rupa dan tugas tersebut juga telah di evaluasi oleh Wakil dekan 3 FK UMS agar sesuai dengan mahasiswa baru dan berguna saat perkuliahan nantinya.
            PPA kali ini mendapatkan pengawasan tidak hanya dari dewan perwakilan mahasiswa (DPM) Fakultas Kedokteran dan BEM akan tetapi sekarang memakai sistim pembagian tim. Terdapat tim pelaksana dan advokasi. Tim pelaksana terdiri dari BEM dan UKM fakultas dan tim advokasi terdiri dari lokal (DPM Fakultas) dan pusat (advokasi pusat). Penanggung jawab dari tim tersebut adalah wakil dekan 3 Fakultas Kedokteran UMS.
            Pada kegiatan hari pertama PPA dikondisikan pemberian materi yang berlangsung di kelas serta lebih di arahkan pada ketepatan waktu. Terdapat sisi positif dari adanya SK tersebut bahwasanya mahasiswa baru merubah pandangan mengenai PPA yang tidak seperti perpeloncoan yang diberitakan media cetak maupun online. Ketua PPA Oka iramda saputra menyampaikan “ untuk PPA tahun ini berjalan lebih tertib dan sesuai harapan walaupun terdapat beberapa kendala, tetapi pihak panitia telah lebih siap untuk menangani teknis dilapangan”.
            “semoga pada PPA pada tahun 2014 ini berjalan dengan baik dan lancar serta antara peserta dan panitia agar bekerja sama untuk mewujudkan PPA yang lebih tertib dan kekeluargaan,” tuturnya. (red: Ryan budi gunawan/ MAESTRO)

Juni 26, 2014

Mahasiswa dari pulau seberang.
Oleh ; Iwan Mariono (mahasiswa angkatan 2012)


Perkenalkan namaku Mariono, orang biasa memanggilku Iwan. Nama lengkapku Iwan Mariono. Saat ini aku sedang mendengarkan alunan seruling indah instrumen Bali karya Gus Teja berjudul hero, instrumen Bali pertama yang aku kenal langsung memikat hati karena alunannya yang syahdu menenangkan hati. Tahukah kalian setiap mendengarnya semakin mengingatkanku kepada kampung halaman.

Bukan. Aku bukan orang Bali. Bahkan ke Bali saja belum pernah. Hanya saja, setiap mendengarnya imajinasiku melayang jauh terbang; berbaring di gubuk kecil depan rumah dengan hamparan sawah yang luas sepanjang mata memandang. Hijau. Hanya hijau dan biru yang nampak sampai di ujung garis langit. Hanya sawah dan rumput alang-alang yang nampak sepanjang mata memandang. Semakin menenangkan dengan paduan suara gemricik air yang mengalir dari saluran kecil irigasi yang mengelilingi sekitarnya.
“Kau tidak kuliah hari ini?”
Suara khas itu bertanya, menepuk bahuku, memutus lamunanku pagi ini tentang indahnya alam pedesaan kami. Adalah Andi, teman sejawatku dalam perantauan ini. Kami yang sama-sama dari Morowali, sebuah daerah di ujung tenggara Sulawesi Tengah.
“Tidak, hari ini aku mau bolos dulu,” jawabku dengan tegas seraya menawarkan Andi jalan-jalan kemana tempat yang bagus untuk dikunjungi hari ini.
“Ke Simpang Lima, ke Lawang Sewu, kayaknya bagus.” jawabnya dengan mantap.
Senyum mengembang di bibirku. Ide yang bagus. Akhirnya, dengan berbekal motor Beat putih kesayanganku itu, pagi ini kami berangkat ke Semarang.

Sepanjang perjalanan, kami melewati indahnya Magelang, kota terbersih yang berhasil meraih adipura se-Jawa Tengah. Berangkat dari arah Jogja otomatis tidak lewat alun-alun, karena ada jalan perboden. Sering aku ditahan Polisi karena ketahuan melanggar jalan satu arah. Kadang jadi geli tertawa jika mengingat kenakalan ketika SMA di Palu dulu, bagaimana aku dan Andi sering mencoba kabur lewat jalan tikus alias lorong-lorong saat ketahuan melanggar. Dasar bocah nakal. Hanya bisa tertawa mengingatnya. Kami berteman sejak masih SMA di Palu.
Ini adalah bolos pertamaku sejak diterima jadi Mahasiswa Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Aku lebih suka menyebutnya Sukoharjo. Karena memang, lokasi tempat kuliah itu berdomisili di Kabupaten Sukoharjo. Sering aku dan teman-teman memelesetkannya dalam bahasa Jawa; UMS, Universitas Meh Solo, yang berarti universitas dekat Solo, karena letaknya di Sukoharjo yang sudah bukan daerah Solo, nama populer Surakarta. Andi sendiri kuliah di Jogja, jurusan Teknik Industri, Akprind. itulah sebabnya perjalanan ke Semarang pagi ini kami melewati Magelang, karena jum’at malam sebelumnya aku jalan-jalan ke Jogja, menginap di kontrakan Andi yang tidak jauh dari kampusnya. Hingga pagi ini, rencana jalan-jalan itu muncul dengan sendirinya.

Walau kami tidak satu jurusan, itu tidak membuat persahabatan kami regang, justru menjadi kiat erat. Selain karena kami satu kampung halaman, teman sejak kecil, hal yang membuat persahabatanku erat, kami juga sama-sama kolektor buku sejak datang di Jawa. Hal yang tidak pernah kami lakukan ketika masih di Sulawesi, selain karena harga buku-buku yang mahal juga karena memang tidak ada toko buku seperti Gramedia, Togamas, SAB, disana.

Ada hal menarik yang kami temui ketika berkunjung ke Semarang. Mungkin inilah transformasi budaya melalui institusi pendidikan antara Jawa dan Sulawesi yang berhasil aku rekam melalui percakapan antara sahabatku Andi dan seorang lelaki tua yang kami temui di kota itu.

Langit tampak mendung, walau demikian tidak tampak adanya tanda-tanda akan turunnya hujan kecuali hanya matahari yang tersapu oleh awan. Kami duduk di bundaran Tugu Muda, melepas penat setelah puas berkeliling kota Semarang dan diakhiri dengan menjelajahi penjara bawah tanah Lawang Sewu. Di bundaran, kami bertemu dengan Pak Tua yang sedang asyik membaca buku. Di lihat dari cover-nya yang sadah kusam sepertinya buku jadul. Sekilas tampak judulnya; Max Havelaar.

            “Kalian ini asalnya dari mana?” sapa Pak Tua dengan nada bersahabat, setelah sebelumnya Andi yang terlebih dahulu mengajak berkenalan.
“Kami dari Sulawesi, Pak,” jawab kami serempak.
“Saya pernah tinggal di Sulawesi, hampir 30 tahun saya disana. Sempat tinggal lama di Wakatobi sebelum pindah ke Makassar. Pulau yang indah, masih banyak hutannya.” Wah, ternyata kami bertemu dengan orang yang pernah tinggal di Sulawesi.

Pak Tua, dari perawakannya tampak kalau Pak Tua ini kira-kira sudah berumur 60an. Walau demikian, dia masih tampak sehat dan tegar, mungkin karena kebiasaannya yang murah senyum dan suka berbagi pengalaman, membuatnya 10 tahun lebih muda dari orang tua sebayanya. Dan, diskusi-diskusi kami dengan Pak Tua inilah yang kemudian menjadi diskusi yang abadi kawan. Ada banyak hal yang kami bahas berhubungan dengan status kami sebagai mahasiswa sekaligus status kami sebagai anak perantauan yang berada jauh dari kampung halaman. Maka, dalam kesibukanku sebagai mahasiswa, walau sempat bolos, aku tetap mencoba untuk menuliskan kisah ini.
Pak Tua memulai percakapan, “Saat itu aku masih berumur 20 tahun. Mungkin sama seperti kalian sekarang.”
“Benar Pak, kecuali temanku yang satu ini,” sial Andi selalu membuka kartuku sebagai mantan pengangguran sebelum jadi mahasiswa.
Pak Tua hanya tertawa, “tidak apa-apa, aku juga dulu sama sepertimu, pernah menjadi pengangguran sebelum kuliah. aku kuliah di Universitas Haluoleo, Kendari. Namun hanya bertahan 1 tahun, karena tahun ke-2 aku sudah pindah ke Maros. Aku kuliah lagi mulai dari semester awal, lanjut di Unhas Makassar, jurusan Ekonomi. Saat itu Makassar belum ramai seperti sekarang, Pantai Losari bahkan belum menjadi objek wisata, masih berupa jalanan lurus yang berbatasan dengan pasir tepi pantai.”

“Kau tahu Andi,” kali ini Pak Tua fokus pada Andi yang memang berdarah bugis, keturunan asli Sulawesi. Berbeda dengan aku yang blasteran, ibuku yang Jawa, tapi bapak yang Sulawesi, toraja. Maka jangan heran kalau aku bisa bahasa jawa sekaligus toraja, beda dengan Andi yang masih kaku lidahnya dengan logat jawa. “kenapa orang Sulawesi di mata orang Jawa itu terkesan kasar, coba kau lihat mahasiswanya, hampir tiap hari terlibat tawuran?”

“Itu karena faktor budaya Pak,” jawabku. “orang Sulawesi hampir sama dengan orang-orang Sumatera yang terkesan keras, baik dalam bicara maupun bersikap.”
“Sebanarnya tidak sepenuhnya benar,” jawab Pak Tua, “aku ambil contoh orang Makassar, kebetulan aku yang lama tinggal di sana. Cara bicara orang makassar memang cenderung keras dan terkadang sedikit agak lantang. Namun keras bukan berarti kasar, dan biasanya mereka langsung berbicara pada pokok pembahasan dan tidak bertele-tele.”
“Lantas, bagaiamana Pak Tua menanggapi kampus Unhas yang sering kita lihat di TV terlibat tawuran?” Andi kali ini yang bertanya, dia memanggil beliau Pak Tua, tapi beliau tidak marah, malah suka dengan panggilan itu.

            “Itu karena media. Media yang membuat mindset mahasiswa Makassar itu terkesan kasar. Ketika ada aksi-aksi entah yang dilakukan mahasiswa atau organisasi yang terdapat di Makassar, dalam hal ini yang mungkin berakhir bentrok dan sebagianya, maka media langsung saja memblow up kejadian tersebut,” lanjut Pak Tua seolah mengenag masa lalunya sebagai mahasiswa Makassar yang tidak ingin mendapat pandangan buruk dari orang-orang yang bahkan belum pernah ke Makassar. “bahkan tidak sedikit beritanya yang dilebih-lebihkan oleh media dari Ibukota mengenai situasi Kota Makassar. Berbeda sekali ketika mahasiswa Makassar ataupun organisasi di Makassar melakukan hal-hal positif, media terkadang tidak tertarik untuk menyebarkannya.”
            “Tapi itu kan dulu Pak, waktu Pak Tua masih menjadi mahasiswa, sekarang beda. Makassar sudah menjadi kota metropolitan yang dikunjungi oleh banyak orang dari berbagai daerah.” Andi menyampaikan pendapatnya pada Pak Tua.

            Sebenarnya, walaupun Andi orang Sulawesi, tapi dia orang yang mengagumi kulturasi dan budaya jawa. Bahkan, dia berkeinginan mencari jodoh orang jawa, ssst, untuk yang satu ini tolong jangan bilang siapa-siapa, nanti aku kena semprot Andi. Tidak sedikit orang Sulawesi yang cenderung sedikit mendiskreditkan budayanya sendiri. Dalam hal ini, sahabatku Andi inilah orangnya. Walau demikian, aku tetap mengagumi keberanian temanku yang satu ini. Andi bahkan datang sendiri ke pulau Jawa, saat aku sudah setahun lebih berada di sini.

            “Sama saja Andi, bukankah di Jawa juga seperti itu. Kau lihat saja di Surabaya, bukankah di sana juga orang-orangnya kasar dan suka tawuran.”
            “Itu suporter Persebaya Pak, bukan mahasiswa.” Kali ini aku yang bersuara.
            “Tetap saja sama, tidak sedikit Bonek Surabaya itu dari kalangan mahasiswa.” Jawab Pak Tua.
            “Apakah Pak Tua tidak pernah terlibat tawuran selama menjadi mahasiswa Unhas?” Andi mencoba bertanya, mencari tahu seperti apa kehidupan Pak Tua ketika masih menjadi mahasiswa, orang asli Semarang yang pernah lama tinggal di Sulawesi.

            Seolah mencoba membuka kembali kenangannya di masa lalu sebagai mahasiswa, dihadapan Andi, Pak Tua kali ini tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa, “Aku dulu anggota geng, sering membuat tawuran dengan mahasiswa lain dari kampus seberang, bahkan ikut bergabung dengan suporter PSM, tidak sedikit dari kami yang berbuat anarkis, apalagi saat klub kesayangan kami itu kalah.”
            Kali ini aku ikut tertawa. Ternyata Pak Tua mewariskan benar apa yang menjadi budaya sebagian besar pemuda Makassar. Walau demikian ada satu ungkapannya yang ternyata menjadi alasan kuat mengapa dia sangat menyukai budaya orang Sulawesi, dalam hal ini Makassar. Sehingga, mindset-nya mengenai orang Sulawesi itu selalu postif.
            “Dalam hal tertentu, sikap tegas dan budaya keras sangat kita perlukan. Lemah-lembut itulah yang justru melemahkan. Mengapa bangsa Indonesia bisa dijajah puluhan tahun lamanya oleh Belanda. Itu karena orangnya terlalu lemah dalam mengambil sikap. Sikap itu lahir dari budaya, atau sebaliknya budaya itulah yang membuat kita bersikap sebagaimana kita sekarang. Kau tahu, kenapa Sultan Hasanuddin itu sangat disegani oleh orang-orang Portugis, itu karena beliau tidak pernah mau berkompromi dengan pihak penjajah, tidak ada tawar-menawar dalam sejarah penjajahan. Begitu juga Surapati, sampai saat ini, kalau kalian bertanya kepada orang-orang tua dulu, khususnya orang Surabaya, maka tidak ada di antara mereka yang tidak mengenal nama tersebut, bagaimana idelisnya dianggap sebagai ancaman oleh penjajah Belanda. Belum lagi kalau kita mau membahas sosok Bung Tomo.”
            “Untuk Surabaya, sangat bertolak belakang bukan dengan budaya Jawa pada umumnya? Berapa banyak pegawai pemerintahan pada masa pendudukan Hindia Belanda yang menjadi kurir Belanda? Banyak di antara mereka yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi pejabat atau lurah, bekerja untuk keperluan Hindia dengan cara memeras penduduknya yang notabene merupakan saudaranya sendiri; sesama pribumi. Mereka, para lurah-lurah itu terlalu lemah dihadapan penjajah. Dan ironisnya, pribumi juga ternyata takut pada lurah-lurah. Jadilah ketakutan di atas ketakutan.”
            Aku hanya bengong, masih belum mengerti kemana arah pembicaraan Pak Tua.
“Cobalah kau baca ini?” Pak Tua menyerahkan buku kusam yang dipegangnya sejak tadi kepada Andi.
            “Ini kan sejarah penjajahan Pak Tua, tidak ada hubungannya dengan pembahasan kita mengenai tingkah-laku dan budaya mahasiswa kita sekarang.” Andi mencoba menyangga pendapat Pak Tua.
            “Sama saja Andi, janganlah kau bantah aku,” Pak Tua mengambil jeda sejenak, “sikap kita terhadap kehidupan sangat mempengaruhi sikap kehidupan terhadap kita. Dan sikap itu, tidak mungkin hadir kalau tidak dipengaruhi oleh lingkungannya. Mungkin hanya aku yang berani bilang kalau para Bonek itu mewarisi darah Bung Tomo. Orang jawa itu lemah lembut karena budaya keraton yang mewajibkan seperti itu, apalagi kau kuliah di Jogja, tentu banyak kau jumpai warganya yang lemah lembut bukan? Atau jangan-jangan kau juga tertarik dengan kelemah-lembutan gadis Jawa?” Kali ini Pak Tua bertanya sambil tersenyum.
            Muka Andi langsung merah seperti udang rebus. Aku hanya tersenyum, ikut merasakan kalimat terakhir Pak Tua mengenai gadis jawa.
            “Aku punya cucu yang manis, asli orang jawa, seumuran kau. Mahasiswi. Cantik, baik, lemah-lembut orangnya.”
            Tampak langit memerah, matahari sebentar lagi akan kembali keperaduannya. Kehidupan hari ini berlalu dengan kesibukan kota yang masih akan terus berlanjut hingga malam tiba.
***
Percakapan hari itu berakhir begitu saja. Hari itu juga aku belajar, dan hikmah yang besar; tidak ada budaya yang penuh warna dibelahan bumi manapun selain Indonesia. Tidak ada. Bahkan ini hanya secuil budaya yang berhasil ter-ekspose menjadi sebuah kisah yang aku tulis bersama Andi dan Pak Tua, di mana antara mereka sebenarnya telah terjadi pertukaran budaya. Ada sekitar 700 suku budaya yang ada di Indonesia, bahkan kita mengenal belum setengahnya.
Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung.

TAMAT


Surakarta Hadiningrat, 01 Desember 2013

Jika Saja, Agamaku Memperbolehkan Untuk Meminangmu

Jika Saja, Agamaku Memperbolehkan Untuk Meminangmu
Oleh : Vega Ramadhani Wiguna (angkatan 2012)
Sumber : pecandumu.blogspot.com

Ini sudah menit ketigapuluh dan kami berdua masih membisu. Saling berhadapan, tapi saling memalingkan muka. Dia sudah menyesap habis dua batang rokoknya, ini yang ketiga. Kulihat dia meminum cokelat panas dari cangkirnya, Oh Tuhan, betapa tampannya mahkluk yang Kau ciptakan ini? Rona merah dari pipinya melunturkan pertahananku untuk tidak menatapnya.
“Ayo, diminum itu cokelatmu. Keburu dingin.”
Aku tidak menjawab, namun segera ikut meminum cokelat panas dari cangkirku.
“Masih ingat tidak, saat kita kesini pertama kali?”
Aku mengangguk. Bagaimana bisa aku lupa? Karena dialah aku ikut menggilai cokelat. Tempat ini, persis tempat dimana kami pertama kali kesini. Di pojok balkon atas. Tempat favorit kami berdua selama dua tahun terakhir ini.
“Kamu mau membisu nyampe kapan? Kamu tahu pasti aku gak suka didiemin.” Dia mendengus kesal sambil menyesap rokoknya kuat-kuat.
“Terus, apa aku masih berpengaruh?”
“Kenapa tidak?”
Aku menghela nafas panjang. Rasanya setiap kata yang aku ucapkan, semakin memburu air mataku untuk jatuh. Dan jelas, aku tak ingin dia tahu bahwa aku tidak baik-baik saja.
“Sekar.” Dia menyebut lembut namaku, dengan nada merajuk, seperti kebiasaannya.
“Jangan sebut namaku seperti itu.”
“Dulu, kamu paling suka aku menyebut namamu seperti tadi.”
Dulu? Sampai sekarang pun aku masih sangat menyukainya, Bodoh!
“Kamu tahu aku mencintaimu, Sekar.”
“Cukup. Jangan.”—sergahku tanpa menatap matanya—“Jangan katakan seolah kamu masih sangat menginginkanku. Aku tahu kamu ingin meninggalkanku, mencampakkanku. Kumohon, katakan saja hal-hal yang bisa membuatku menerima keputusanmu itu.”
“Aku tidak mencampakkanmu. Aku hanya ingin kita terlepas menjadi aku-kamu, seperti sebelum kita mengikat cinta.”
“Terlepas? Apa bedanya dengan meninggalkan?”
Dia menghela nafas. Aku tahu, aku selalu menjadi menyebalkan pada saat seperti ini.
“Hubungan kita tak akan pernah berhasil. Akan tetap berjalan ditempat, tanpa tahu bagaimana menentukan akhirnya. Tembok itu sudah terlampaui tinggi, Sayang. Aku tak sanggup lagi untuk meruntuhkannya.”
Aku menyembunyikan isakku dengan meraih cangkir cokelatku tanpa benar-benar meminumnya. Pria dihadapanku ini memalingkan mukanya. Aku senang dia tahu aku sedang tak ingin dilihat.
“Kenapa di Indonesia selalu seperti ini? Perbedaan Agama selalu menjadi alasan perpisahan. Bukankah, suku-suku di Indonesia juga banyak? Saling berbeda, tapi saling hidup bersama.” Kataku, setelah beberapa menit berlalu dengan hening.
“Jangan salahkan Indonesia.”
“Kenapa Allah menciptakan bermacam-macam agama jika Dia hanya ingin disembah dengan satu agama saja?” tanyaku semakin menyalahkan apapun.
“Sudahlah, kita sudah pernah membahas ini sebelumnya. Tidak akan pernah selesai. Kita yang salah. Bukan, aku yang salah. Menjatuhcintakan diriku sendiri padamu. Harusnya dari awal, aku tahu akan begini akhirnya.”
“Kamu tahu aku juga mencintaimu, bukan? Sangat mencintaimu.” Kataku setengah kesal.
“Itu salahku.”
“Kamu anggap rasa cintaku kesalahan?”—nada suaraku meninggi sendirinya.
Dia mematikan rokok, lalu menyesap cangkir cokelatnya.
“Kita bisa apa? Aku pindah ke agamamu apa kamu pindah ke agamaku? Tentu aja gak mungkin. Apa kita berdua pindah ke agama lain, selain Islam dan Kristen? Malah gak mungkin, kan?”
Kata-katanya barusan menghenyakkanku. Aku bergidik. Bagaimana mungkin aku bisa menghianati komitmenku dengan Tuhan? Tapi, kata-katanya memang benar. Dia selalu benar.
Sudah berapa pasangan yang nasibnya sama denganku? Berpisah karena alasan berbeda agama. Iya, kuakui aku seorang Kristen yang taat. Dia juga seorang Islam yang taat, keluarganya berhijab, orangtuanya pun Haji.
“Apa kau telah menemukan separuh hati yang lain, selain hatiku?”
Dia menatapku tak senang dan setengah mengejek.
“Apa ada hati lain yang mampu mendiami hatiku, seperti hatimu? Jangan buat fantasi sendiri. Kamu tahu bukan tabiatku untuk mendua.”
Aku hanya terdiam.
“Sekar. Kamu tahu namamu selalu menjadi favoriteku, bukan? Mengingatkanku pada bunga. Ah, Lissianthus. Bunga yang sangat indah, namun sangat rapuh. Sulit tumbuh disembarang tempat, sulit ditemukan, sulit dimiliki juga.”
“Namamu juga favoriteku, Gas. Aku selalu merapalkan namamu dalam doaku. Ketika penjagaanku tak lagi sampai, aku yakin Tuhan menjagamu dengan baik. Aku senang memperbincangkanmu dengan Tuhan.”
Ah, bukankah itu rahasiaku dengan Tuhan? Kenapa kuceritakan padanya?
Bagas, nama pria dihadapanku, yang menyebalkan itu, mengacak-acak rambutku.
“Bisakah kita kembali lagi? Seperti setahun lalu, saat itu kita juga memutuskan untuk berpisah?” pintaku ditengah suaraku yang berubah parau menggelikan.
Dia menggeleng.
“Aku akan pergi dari hidupmu, setelah ini. Menghapus semua hal yang bisa membuatku menghubungimu lagi. Tak lelahkah kamu dengan hubungan seperti ini? Berjalan di tempat. Tak mempunyai hasil akhir.”
Aku tak bisa lagi menahan air mata yang jatuh. Bagas cepat-cepat berpaling, memberiku waktu untuk menghapusnya. Dia mungkin tahu, aku tak ingin terlihat lemah dihadapannya.
“Maafkan aku.”—lirihnya—“sebenarnya aku benci menjadi satu-satunya alasan dibalik tangismu. Maukah kamu tak menjadikanku alasan lagi? Berjanjilah kamu akan tertawa seperti yang sudah-sudah. Berjanjilah kamu akan cepat menemukan orang lain dibalik tawamu.”
Aku masih sibuk menahan air mataku, menghapusnya cepat-cepat, sehingga hanya bisa mengangguk menanggapi Bagas.
“Kita tahu, rasa cinta itu masih sangat melekat kuat. Tapi, kita juga tahu, itu kesalahan, kan?”
“Argh. Bisakah kamu mengucapkan kata-kata buruk saja? Daripada berkata seolah-olah kamu menginginkanku. Jangan buat aku kesulitan untuk membebaskan kita, menjadi keaku-kamuan seperti yang kamu minta.”
Kami semua terdiam. Sejenak musik dari gerai cokelat, mengalun memenuhi atmosfir di sekitar kami. Aku mengenali lagu itu, sebagai lagu yang sudah sering kami skip dan sudah lama kami hapus dari gadget kami masing-masing.

Tuhan memang satu,
Kita yang tak sama …
Haruskah aku, lantas pergi?
Meski cinta kita tak akan bisa mati …

“Aku menyayangimu, Gas.”—ucapku lirih.
Bagas hanya tersenyum. Dia memberiku waktu untuk menenangkan diri dan memastikan bahwa air mataku tak lagi jatuh dihadapannya.
“Sudah siap pulang?”
Aku mengangguk. Bagas membayar tagihan kami, sedangkan aku sudah menuruni tangga gerai sendirian menuju tempat parkir mobil di bawah.
Tak lama, Bagas dengan cengirannya yang biasa, menyambutku dan membukakan pintu mobil untukku.
“Boleh aku memelukmu, untuk yang terakhir kalinya?”—aku memelankan nada pada kata terakhir. Bagaimana bisa terakhir kali menjadi kata yang kuucapkan pada lelaki yang sudah pasti kucintai selamanya itu?
Bagas mengabulkan permintaanku. Kami saling memeluk erat. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak membenamkan air mataku dalam pelukannya, pelukan terakhir kami.
Dari sudut-sudut bibirnya, kudengar Bagas berbisik dengan sangat jelas…
“Jika saja, Agamaku memperbolehkan untuk meminangmu…”


Juni 25, 2014

PILPRES, MAU PILIH SIAPA?


Tahun 2014 ini merupakan sebuah tahun yang penting bagi bangsa Indonesia. Kenapa bisa begitu? Ya karena di tahun inilah pesta demokrasi terbesar Indonesia diselenggarakan. Ya, di tahun inilah Pemilu akan dilaksanakan baik itu pemilu untuk para calon legislatif maupun pemilu untuk pemilihan Presiden dan Wakilnya. Untuk pemilihan calon legislatif sendiri itu sudah kita lalui di bulan April lalu. Di dalam pemilu legislatif ini, banyak warta berita yang menganggap banyak sekali kekurangannya entah dari segi pendistribusiannya, partisipasi pemilihnya maupun penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Namun disini kita tidak akan membahas hal tersebut, di sini kita akan membahas tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di bulan Juli nanti yang akan menentukan mau di bawa kemana bangsa kita ini untuk 5tahun kedepan.
Yaa, sebelum kita jauh melangkah mari kita mengerti dulu tentang Politik yang memang berkaitan erat dengan Pemilu ini. Apa sih Politik itu? Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) politik adalah (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan). Disini dapat kita cerna bahwa politik itu berkaitan erat dengan ketatanegaraan namun dalam arti luas politiik itu bisa meliputi ke dalam berbagai aspek, politik bisa berhubungan dengan ekonomi, sosial bahkan olahraga juga berhubungan dengan politik. Oke kita kembali ke topik. Seperti yang kita ketahui untuk Pemilu kali ini Indonesia memiliki 2pasangan calon pemimpin negri ini. Pasangan nomor 1 adalah Prabowo-Hatta, mantan Danjen Kopassus dan Menko Perekonomian saat ini kemudian ada pasangan nomor 2 yakni Jokowi-Hatta, 2orang yang terkenal dengan sikap merakyat dan ketegasannya.



Sekarang pun sudah mulai memasuki masa kampanye untuk kedua calon ini. Namun tidak sedikit ditemukan kampanye-kampanye hitam yang disisipkan dalam kampanye kali ini, yang isinya saling menjelekkan calon satu sama lain. Ini juga memperlihatkan saat ini Pemilu sudah dimainkan secara “kotor” secara tidak langsung. Kita sebagai mahasiswa harus punya sikap dalam menyikapi hal ini. Meskipun banyak yang menyebut bahwa mahasiswa kedokteran sebagai mahasiswa “eksklusif” karena sikapnya yang selalu berkutat dengan akademik dan cenderung terlihat apatis terhadap masalah sosial disekitarnya. Kita harus memiliki kepedulian terhadap Pemilu ini, karena mau tidak mau, suka tidak suka pemimpin terpilih ini akan menentukan bagaimana Indonesia kedepannya dan lebih khusus lagi bagaimana kehidupan kita mahasiswa dan kehidupan Dokter Indonesia nantinya. Tersejahterakankah atau malah ditekan untuk lebih sengsara?

Adam, mahasiswa FK UMS angkatan 2013, seorang pemilih pemula untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden,  berpendapat banyak sekali yang membuat bingung dirinya dalam Pemilu ini. Menurut Adam, dari apa yang ia rasakan ketika Pemilu Legislatif lalu banyak sekali kecurangan di dalamnya, ia melihat banyak sekali permainan kotor untuk memenangkan pemilu ini dari mulai Kontrak Politik yang sebetulnya tidak menguntungkan rakyat hingga money politik. Kemudian Adam memiliki pandangan sendiri terhadap 2 calon yang ada, menurutnya yang satu adalah tokoh nasionalis dan yang satu merupakan tokoh yang merakyat. Menurutnya keduanya sama-sama baik hanya saja tinggal sikap kita lah yang menentukan siapakah yang akan cocok memimpin Indonesia kedepan. Seorang tokoh nasionalis seperti Prabowo kah atau seorang tokoh merakyat seperti Jokowi? We don’t know. Adam pun berpendapat, kita sebagai mahasiswa harus berperan aktif dalam pemilu ini karena menurutnya, mahasiswa seperti kita sudah memiliki pandangan terhadap baik buruk nya calon dengan disiplin keilmuan kita ataupun dilihat dari bidang keilmuan yang lain. Dan Adam pun berharap dalam pemilu capres nanti kecurangan-kecurangan yang sudah terjadi di pemilu caleg lalu tidak lagi terulang demi kemajuan pesta demokrasi Indonesia nantinya.



Disini, yang terpenting adalah sikap kita dalam memilih. Jangan terpengaruh oleh kampanye-kampanye hitam yang menjelekkan calon satu sama lain. Kita harus menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin negeri ini 5 tahun kedepan. Kita yang menentukan bagaimana kah Indonesia kedepannya. Kita yang menentukan bagaimana nasib mahasiswa kedepannya, kita yang menentukan bagaimana disiplin keilmuan kita, kedokteran, berjalan seperti apa nantinya. Kita harus cerdas memilih demi Indonesia yang lebih sejahtera. Hidup Mahasiswa!!!!

Doc by : Yudwari